Selasa, 10 April 2018

Asuhan Keperawatan Rabies

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Rabies adalah suatu penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang dapat menyerang semua jenis binatang berdarah panas dan manusia. Penyakit ini ditandai dengan disfungsi hebat susunan saraf pusat dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Rabies merupakan salah satu penyakit menular tertua yang dikenal di Indonesia. Virus rabies termasuk dalam genus Lyssavirus dan famili Rhabdoviridae. Genus Lyssavirus sendiri terdiri dari 80 jenis virus dan virus rabies merupakan prototipe dari genus ini.
Sejarah penemuan rabies bermula 2000 tahun SM ketika Aristoteles menemukan bahwa anjing dapat menularkan infeksi kepada anjing yang lain melalui gigitan. Ketika seorang anak laki-laki berumur 9 tahun digigit oleh seekor anjing rabies pada tahun 1885, Louis Pasteur mengobatinya dengan vaksin dari medulla spinalis anjing tersebut, menjadikannya orang pertama yang mendapatkan imunitas, karena anak tersebut tidak menderita rabies.
Di Amerika Serikat rabies terutama terjadi pada musang, raccoon, serigala dan kelelawar. Rabies serigala terdapat di Kanada, Alaska dan New York. Kelelawar penghisap darah (vampir), yang menggigit ternak merupakan bagian penting siklus rabies di Amerika latin. Eropa mempunyai rabies serigala, di Asia dan Afrika masalah utamanya adalah anjing gila.
Beberapa daerah di Indonesia yang saat ini masih tertular rabies sebanyak 16 propinsi, meliputi Pulau Sumatera (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung), Pulau Sulawesi (Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara), Pulau Kalimantan (Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur) dan Pulau Flores. Kasus terakhir yang terjadi adalah Propinsi Maluku (Kota Ambon dan Pulau Seram).
Rabies telah menyebabkan kematian pada orang dalam jumlah yang cukup banyak. Tahun 2000, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun di dunia ini terdapat sekurang-kurangnya 50.000 orang meninggal karena rabies, kepekaan terhadap rabies kelihatannya tidak berkaitan dengan usia, seks atau ras.


1.2  Tujuan Penulisan
1.2.1        Tujuan Umum
Untuk mengetahui secara umum dan keseluruhan mangenai penyakit Rabies agar dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien anak dengan Rabies sebaik mungkin.
1.2.2        Tujuan Khusus
1.      Untuk mengetahui dan memahami definisi dari Rabies
2.      Untuk mengetahui dan memahami etiologi dari Rabies
3.      Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi dari Rabies
4.      Untuk mengetahui dan memahami apa saja manifestasi klinis dari Rabies
5.      Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan yang tepat pada penderita Rabies
6.      Untuk mengetahui dan memahami apa saja komplikasi dari Rabies
7.      Untuk mengetahui dan memahami proses keperawatan yang sesuai pada Rabies

1.3  Manfaat
1.4.1     Bagi mahasiswa
Mahasiswa di Jurusan Keperawatan mendapat informasi tentang konsep dasar Rabies dan Asuhan Keperawatannya.








BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Konsep Dasar
2.1.1 Definisi Rabies
          Rabies adalah suatu penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang dapat menyerang semua jenis binatang berdarah panas dan manusia. Penyakit ini ditandai dengan disfungsi hebat susunan saraf pusat dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Rabies merupakan salah satu penyakit menular tertua yang dikenal di Indonesia. Virus rabies termasuk dalam genus Lyssavirus dan famili Rhabdoviridae. Genus Lyssavirus sendiri terdiri dari 80 jenis virus dan virus rabies merupakan prototipe dari genus ini.
          Sejarah penemuan rabies bermula 2000 tahun SM ketika Aristoteles menemukan bahwa anjing dapat menularkan infeksi kepada anjing yang lain melalui gigitan. Ketika seorang anak laki-laki berumur 9 tahun digigit oleh seekor anjing rabies pada tahun 1885, Louis Pasteur mengobatinya dengan vaksin dari medulla spinalis anjing tersebut, menjadikannya orang pertama yang mendapatkan imunitas, karena anak tersebut tidak menderita rabies.

2.1.2   Etiologi
Penyebab rabies adalah virus yaitu genus Rhabdovirus. Berbagai jenis hewan dapat menularkan rabies ke manusia. Yang terbanyak adalah oleh hewan liar, khususnya musang, kelelawar, rubah, dan serigala. anjing, kucing, hewan ternak, atau hewan berdarah panas dapat menularkan rabies kepada manusia. Manusia tertular rabies melalui gigitan hewan yang terinfeksi.
Rabies menyebar melalui kontak langsung terutama gigitan, air liur yang mengandung virus masuk melalui luka gigitan. Selanjutnya virus tersebut masuk ke dalam tubuh menuju otak, dan kemudian dari otak ke kelenjar ludah melalui syaraf sentrifugal serta ke pankreas.


2.1.3   Manifestasi Klinis
Masa inkubasi rabies berlangsung sangat panjang sehingga digolongkan kedalam penyakit slow virus. Masa inkubasi 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi 1% bisa bervariasi 1-7 tahun. Pada anak-anak biasanya masa inkubasi lebih pendek dari orang dewasa. Masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke dalam system syaraf pusat), derajat pathogenesis virus dan persarafan luka gigitan. Luka pada kepala inkubasi 25-28 hari, ekstremitas 46-78 hari.
Pada manusia secara teoritis gejala klinis terdiri dari  4 stadium yang dalam keadaannya sebenarnya sulit dipisahkan satu dari yang lainnya, yaitu : gejala prodormal non spesifik, ensefalitis akut, disfungsi batang otak, dan koma (kematian).
Pada masa inkubasi ini, virus rabies menghindari sistem imun dan tidak ditemukan adanya respon antibodi. Saat ini, pasien dapat tidak menunjukkan gejala apa – apa (asimptomatik). Pada stadium prodromal, virus mulai memasuki sistem saraf pusat. Stadium prodromal berlangsung 2 – 10 hari dan gejala tak spesifik mulai muncul berupa sakit kepala, lemah, anoreksia, demam, rasa takut, cemas, nyeri otot, insomnia, mual, muntah, dan nyeri perut. Parestesia atau nyeri pada lokasi inokulasi merupakan tanda patognomonik pada rabies dan terjadi pada 50 % kasus pada stadium ini, dan tanda ini mungkin menjadi satu-satunya tanda awal. (2,3,5,13) Setelah melewati stadium prodromal, maka dimulailah stadium kelainan neurologi yang berlangsung sekitar 2 – 7 hari. Pada stadium ini, sudah terjadi perkembangan penyakit pada otak dan gejalanya dapat berupa :
1.    Bentuk spastik (furious rabies): peka terhadap rangsangan ringan, kontraksi otot farings dan esofagus, kejang, aerofobia, kaku kuduk, delirium, semikoma, dan hidrofobia. Yang sangat terkenal adalah hidrofobia di mana bila pasien diberikan segelas air minum, pasien akan menerimanya karena ia sangat haus, dan mencoba meminumnya. Akan tetapi kehendak ini dihalangi oleh spasme hebat otot-otot faring. Dengan demikian, ia menjadi takut dengan air sehingga mendengar suara percikan air kran atau bahkan mendengar perkataan air saja, sudah menyebabkan kontraksi hebat otot-otot tenggorok. Spasme otot-otot faring maupun pernapasan dapat pula ditimbulkan oleh rangsangan sensorik seperti meniupkan udara ke wajah pasien atau menyinari matanya. Pasien akan meninggal dalam 3 – 5 hari setelah mengalami gejala-gejala ini.
2.    Bentuk demensia.
3.    Kepekaan terhadap rangsangan bertambah, gila mendadak, dapat melakukan tindakan kekerasan, koma, mati.
4.    Bentuk paralitik (dumb rabies) : Pada bentuk ini pasien tampak lebih diam daripada tipe furious. Gejala yang dapat muncul pada bentuk ini adalah demam dan rigiditas. Paralisis yang terjadi bersifat simetrik dan mungkin menyeluruh atau bersifat ascending sehingga dapat dikelirukan dengan Guillain-Barre Syndrome. Sistem sensoris biasanya masih normal.

2.1.4   Patofisiologi
            Setelah virus rabies masuk ke tubuh manusia, selama 2 minggu virus menetap pada tempat masuk dan dijaringan otot di dekatnya virus berkembang biak atau langsung mencapai ujung-ujung serabut saraf perifer tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Selubung virus menjadi satu dengan membran plasma dan protein ribonukleus dan memasuki sitoplasma. Beberapa tempat pengikatan adalah reseptor asetil-kolin post-sinapstik pada neuromuskular juction di susunan saraf pusat.
Dari saraf perifer virus menyebar secara sentripetal melalui endometrium sel-sel Schwan dan melalui aliran aksoplasma mencapai ganglion dorsalis dalam waktu 60-72 jam dan berkembang biak. Selanjutnya virus menyebar dengan kecepatan 3 mm/jam ke susunan saraf pusat (medula spinalis dan otak) melalui cairan cerebrospinalis.
Di otak virus menyebar secara luas dan memperbanyak diri dalam semua bagian neuron, kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom.
Penyebaran selanjutnya dari SSP ke saraf perifer termasuk serabut saraf otonom, otot skeletal, otot jantung, kelenjar adrenal (medula), ginjal, mata, pankeas. Pada tahap berikutnya virus akan terdapat pada kelenjar ludah, kelenjar lakrimalis, sistem respirasi. Virus juga tersebar pada air susu dan urin
Dengan demikian, virus dapat menyerang hampir seluruh jaringan dan organ tubuh dan berkembang biak dalam jaringan seperti kelenjar ludah. Khusus mengenai infeksi sistem limbik, sebagaimana diketahui bahwa sistem limbik sangat berhubungan erat dengan fungsi pengontrolan sikap emosional. Akibat pengaruh infeksi sel-sel dalam sistem limbik ini, pasien akan menggigit mangsanya tanpa adanya provokasi dari luar         
2.1.5   WOC
-

                                                                                                                          
2.1.6   Komplikasi
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intra kranial, kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindron abnormalitas hormon artidimetik (SAHAD); disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, Hipertemia/ hipotermia., aritmia dan henti jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi.
Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernapasan terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik. Penanganan terhadap komplikasi seperti terlihat pada tabel  dibawah ini.

Tabel. komplikasi pada rabies dan penanganannya
Komplikasi
Penanganan
Neurologik
Hiperaktif
Hidrophobia
Kejang fokal
Gejala neorologi lokal
Endema serebri
Aerophobia

Fenotiazin, benzodiazepin,
Tidak diberikan apa-apa lewat mulut
Karbamazepin, fenitoin
Tidak perlu tidakan apa-apa
Mannitol, gliserol
Hindari stimulasi
Pituari
SAHAD
Diabetes insipidus

Batasi cairan
Cairan, vasopressin
Pulmonal
Hiperventilasi
Hipoksemia
Atelektasis
Apnea
Pneumothoraks

Tidak ada
Oksigen, ventilator, PEEP
Ventilator
Ventilator
Dilakukan ekspansi paru
Cardiovaskular
Aritmia
Hipotensi
Gagal jantung kongestiv
Trombosis arteri/vena
Obstruksi vena cava superior
Henti jantung

Oksigen, obat anti aritmia
Cairan, dopamine
Batasi cairan, obat-obatan
Heparin
Lakukan pencegahan
Resustasi
Lain-lain
Anemia
Pendarahan gastrointestinal
Hipertermia
Hipotermia
Hipovolemia
Ileus paralitik
Retensio urin
Gagal ginjal akut
Pneumomediastinum

Tranfusi darah
H2 bloker, transfusi darah
Lakukan pendinginan
Selimut panas
Pemberian cairan
Cairan parenteral
Katerisasi
Haemodialisis
Tidak dilakukan apa-apa

2.1.7   Penatalaksanaan
Penderita yang terkena gigitan Anjing atau Kucing atau Kera segera :
1.      Cuci luka gigitan dengan sabun atau detergernt di air mengalir selama 10-15 menit dan beri antiseptic (betadine, alcohol 70%, obat merah dll)
2.      Segera ke puskesmas/ rabies center/ rumah sakit untuk mencari pertolongan selanjutnya
Di puskesmas/ rabies center/ rumah sakit dilakukan :
1)      Penanganan luka gigitan
-          Cuci luka gigitan dengan sabun atau detergernt di air mengalir selama 10-15 menit dan beri antiseptic (betadine, alcohol 70%, obat merah dll)
-          Anamnesis apakah didahukui tindakan provokatif, hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies, penderita gigitan hewan pernah divaksinasi dan kapan, hewan penggigit pernah divaksinasi dan kapan.
-          Identifikasi luka gigitan
Luka resiko tinggi : jilatan/ luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (mukosa, leher, kepala) luka pada jari tangan, kaki, genetalia, luka lebar/dalam dan luka yang banyak.

2)      Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) atau Serum Anti Rabies (SAR)

2.2    Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian

1.      Identitas Klien : Nama Klien, No. RM, Tempat Tanggal Lahir, Umur, Agama, Pendidikan, Alamat, Jenis Kelamin, Penanggung Jawab
2.      Riwayat kesehatan
a.       Riwayat Penyakit Dahulu : Penyakit waktu kecil            , Pernah MRS, Alergi, Imunisasi
b.      Riwayat Penyakit Sekarang : Keluhan utama, Tindakan pertama
c.       Riwayat Penyakit Keluarga : Penyakit keturunan, Penyakit menular
d.      Riwayat Antenatal :  Keluhan selama hamil, ANC
e.       Riwayat Natal : Umur  kehamilan            -  Jenis persalinan, Keadaan bayi, Penyakit saar persalinan
f.       Riwayat Neonatal : Kondisi bayi, BB waktu lahir, TB waktu lahir
g.      Riwayat Gizi : Pemberian ASI, Pemberian MPASI, Makan sehari-hari
h.      Riwayat Psikososial : Yang mengasuh, Hub dengan keluarga, Hub dengan lingkungan sekitar
i.         Riwayat Tumbuh Kembang : Mengangkat kepala, Tengkurap, Duduk, Gigi tumbuh pertama, Merangkak, Berdiri,  Berjalan dituntun, Berjalan berpegangan, Berjalan sendiri, Berbicara, Tidak ngompol
3.      Pemeriksaan fisik
Umumnya ditemukan :
a. Status Pernafasan
Peningkatan tingkat pernapasan, takikardi, suhu umumnya meningkat (37,9º C), menggigil
b. Status Nutrisi
   Kesulitan dalam menelan makanan, berapa berat badan pasien, mual dan muntah, porsi makanan dihabiskan. status gizi
c. Status Neurosensori
    Adanya tanda-tanda inflamasi
d.Keamanan
   Kejang, kelemahan
e. Integritas Ego
   Klien merasa cemas, Klien kurang paham tentang penyakitnya

2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1.      Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d obstruksi jalan nafas (mucus dalam jumlah berlebihan)
2.      Hipertermia b.d infeksi virus
3.      Hambatan mobilitas fisik b.d gangguang kognitif (gerakan tidak terkoordinasi ), penurunan kendali otot dan kaku sendi.


2.2.3 Intervensi
Diagnosa
NOC
NIC
Rasional
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d obstruksi jalan nafas (mucus dalam jumlah berlebihan)
v Respiratory status : ventilation
v Respiratory status : airway patency
Kriteria hasil :
-          Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih,tidak ada sianosis dan dyspnea ( mampu mengeluarkan sputum, mampu mengeluarkan seputum dengan mudah , tidak ada pursed lips).
-          Menujukan jalan nafas yang paten ( klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi fernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal
-          Mampu mengidentifikaasi dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan nafas
1.    Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning
2.    Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning
3.    Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan
4.    Gunakan alat yang steril setiap melakukan tindakan
5.    Anjurkan pasien untuk  istirahat dan nafas dalam setelah kateterdi keluarkan dari nasotrakeal
6.    Buka jalan nafas , gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bilaperlu
7.    Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
8.    Keluarkan secret dengan batuk atau suction
9.    Kolaborasi dengan tim medis untuk pembersihan secret
-       Mengetahui perbedaan suara nafas setelah dan sebelum dilakukan tindakan
-       Agar keluarga dan klien memahami tindakan yang akan dilakkukan
-       Agar klien rileks saat melakukan tindakan
-       Agar terhindar dari infeksi
-       Menjaga kenyamanan klien
-       Agar klien lebih leruasa dalam bernapas
-       Agar pasien bias bernapas dengan baik
-       Agar klien lebih nyaman
-       Kerjasama untuk menghilangkan penumpukan secret/masalah
Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
v  Tujuan jangka pendek : mengidentifikasi intervensi untuk menurunkan suhu tubuh
v  Tujuan jangka panjang : meminimalisir proses peradangan untuk meningkatkan peradangan
1.    Mempertahankan keseimbangan cairan tubuh dengan pemasangan infus
2.    Monitoring perubahan suhu tubuh
3.    Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik guna mengurangi proses peradangan
4.    Anjurkan pada pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang optimal sehingga metabolisme dalam tubuh dapat berjalan dengan lancar
1.       Cairan dalam tubuh sangat penting guna menjaga homeostasis tubuh. Apabila suhu tubuh meningkat maka tubuh akan kehilangan cairan lebih banyak
2.       Suhu tubuh harus dipantau secara efektif guna mengetahui perkembangan dan kemajuan dari pasien
3.       Antibiotik berperan openting dalam mengatasi proses peradangan
4.       Jika metabolisme dalam tubuh berjalan sempurna maka tingkat kekebalan sistem imun bisa melawan semua benda asing yang masuk
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan

NOC
v  Joint movement : active
v  Mobility level
v  Self care: ADLs
v  Tansverperformance
Kriteria hasil:
-          Klien meningkat dalam aktifitas fisik
-          Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
-          Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah
-          Memperagakan penggunaan alat bantu
-          Bantu untuk mobilisasi (walker)
1.      Monitoring vital sign sebelum/ sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan
2.      Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi  sesuai dengan kebutuhan
3.      Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cidera
4.      Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi
5.      Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
6.      Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
7.      Damping dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLS pasien.
8.      Berikan alat bantu jika klien memerlukan
1.      Mengetahui perkembangan vital sign pasien
2.      Mengkolaborasikan pemulihan pasien
3.      Membantu klien berjalan
4.      Memberikan informasi dan pengetahuan untuk pasien
5.      Mengetahui kemampuan klien
6.      Melatih kemampuan otot pasien
7.      Menemani pasien untuk memberikan kenyamanan
8.      Membantu pasien untuk berjalan



2.2.4 Implementasi
Menurut Patricia A. Potter (2005), Implementasi merupakan pelaksanaan dari rencana tindakan keperawatan yang telah disusun/ ditemukan, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien secara optimal dapat terlaksana dengan baik dilakukan oleh pasien itu sendiri ataupun perawat secara mandiri dan juga dapat bekerjasama dengan anggota tim kesehatan lainnya seperti ahli gizi dan fisioterapis. Perawat memilih intervensi keperawatan yang akan diberikan kepada pasien.
Berikut ini metode dan langkah persiapan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan yang dapat dilakukan oleh perawat :
1.      Memahami rencana keperawatan yang telah ditentukan
2.      Menyiapkan tenaga dan alat yang diperlukan
3.       Menyiapkan lingkungan terapeutik
4.      Membantu dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari
5.      Memberikan asuhan keperawatan langsung
6.      Mengkonsulkan dan memberi penyuluhan pada klien dan keluarganya.
Implementasi membutuhkan perawat untuk mengkaji kembali keadaan klien, menelaah, dan memodifikasi rencana keperawatn yang sudah ada, mengidentifikasi area dimana bantuan dibutuhkan untuk mengimple-mentasikan, mengkomunikasikan intervensi keperawatan.
Implementasi dari asuhan keperawatan juga membutuhkan pengetahuan tambahan keterampilan dan personal. Setelah implementasi, perawat menuliskan dalam catatan klien deskripsi singkat dari pengkajian keperawatan, Prosedur spesifik dan respon klien terhadap asuhan keperawatan atau juga perawat bisa mendelegasikan implementasi pada tenaga kesehatan lain termasuk memastikan bahwa orang yang didelegasikan terampil dalam tugas dan dapat menjelaskan tugas sesuai dengan standar keperawatan.

2.2.5 Evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan. Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan Rabies adalah :        
1.      Bersihan jalan nafas kembali efektif, bebas dari mucus yang berlebihan.
2.      Suhu tubuh kembali normal (bebas dari hipertermi).
3.      Mobilitas fisik kembali normal, kendali otot dan sendi membaik.